Rabu, 17 Oktober 2012

Ulcus Diabetic


Diabetes Melitus (DM) adalah suatu sindroma klinis kelainan metabolik, ditandai oleh adanya hiperglikemik yang disebabkan oleh defek sekresi insulin, defek kerja insulin atau keduanya.  Di dunia, jumlah penderita DM  diperkirakan sebanyak 171 juta jiwa dan keadaan ini diprediksi akan terus meningkat mencapai 366 juta jiwa pada tahun 2025.1 DM sering disertai berbagai komplikasi jangka pendek maupun panjang,  komplikasi ini menyebabkan meningkatnya angka morbiditas, mortalitas, dan penurunan kualitas hidup.2
Seiring dengan peningkatan jumlah penderita DM, maka komplikasi yang terjadi juga semakin meningkat, satu diantaranya adalah ulserasi yang mengenai tungkai bawah, dengan atau tanpa infeksi dan menyebabkan kerusakan jaringan di bawahnya yang selanjutnya disebut dengan kaki diabetes (KD).3 Manifestasi KD dapat berupa dermopati, selulitis, ulkus, gangrene, dan osteomyelitis. KD merupakan masalah yang kompleks dan menjadi alasan utama mengapa penderita DM menjalani perawatan di rumah sakit yang selama rawatan membutuhkan biaya sangat mahal dan sering tidak terjangkau oleh kebanyakan masyarakat umum.3,4

 Insiden dan Prevalensi
Insiden ulkus KD 2-3% dan prevalensi 4-10%, pria lebih sering dari wanita. Distribusi usia jarang dijumpai pada usia 40-49 tahun dan terbanyak pada usia di atas 60 tahun. Suatu studi di Eropa, mendapatkan prevalensi ulkus KD 3% pada usia <50 14="14" 60="60" 7="7" 80="80" dan="dan" pada="pada" serta="serta" sup="sup" tahun.="tahun." tahun="tahun" usia="usia">5

 Patofisiologi
Terjadinya kaki diabetik adalah proses multifaktorial yang melibatkan berbagai komplikasi DM maupun trauma yang secara langsung menyebabkan luka pada kaki yang berisiko. Neuropati diabetes, kelainan vaskular, dan kerentanan terhadap infeksi merupakan tiga faktor predisposisi terjadinya ulserasi pada kaki diabetik.6 Trias ini jarang menyebabkan lesi pada kaki tanpa disertai dengan trauma atau luka. Progresivitas dari lesi ini tergantung pada status metabolik dari pasien, kemampuan sensoris untuk merasakan dan melindungi diri dari luka, sirkulasi yang adekuat, dan perawatan luka. Interaksi ketiga faktor predisposisi bisa dilihat pada gambar 1.

Neuropati Perifer
Neuropati perifer merupakan komplikasi umum dari DM terbukti berhubungan dengan intensitas dan durasi dari penyakit.6 Secara morfologi kelainan sel saraf pada neuropati terdapat pada sel-sel Schwan, selaput myelin dan akson. Kelainan yang terjadi tergantung pada derajat dan lamanya mengidap diabetes serta jenis serabut saraf yang mengalami lesi. Lesi serabut saraf dapat terjadi dibagian proksimal atau distal, fokal atau difus, mengenai serabut kecil atau besar, mengenai serabut saraf sensorik, motorik atau otonom.
Penyebab neuropati perifer sampai sekarang ini belum diketahui sepenuhnya tetapi diduga bersifat multifaktorial, beberapa teori yang terkait terjadinya neuropati perifer antara lain :
-       Teori metabolik
Hiperglikemia menyebabkan kenaikan kadar gula darah intraseluler. Kelebihan glukosa diubah menjadi sorbitol dan fruktosa. Akumulasi keduanya akan menyebabkan penurunan mionositol, penurunan aktifitas Na+/K+ - ATPase yang selanjutnya mengganggu transport aksonal sehingga menyebabkan kecepatan hantar saraf tepi menurun.
-     Teori vaskuler (Hypoksik-Iskemik)
Teori ini menyebutkan pada penderita neuropati terjadi penurunan aliran darah ke endoneurium yang disebabkan oleh adanya resistensi pembuluh darah akibat hiperglikemi dan juga berbagai faktor metabolik yang  dapat menyebabkan penebalan pembuluh darah, agregasi platelet, hiperplasi sel endothelial yang kesemuanya dapat menyebabkan iskemia, dan keadaan ini juga menyebabkan terganggunya transport aksonal, aktifitas Na+/K+ - ATPase yang akhirnya menimbulkan degenerasi akson.
-       Teori Neurotrophic factor
Neurotrophic factor (NF) sangat penting untuk system saraf dalam mempertahankan perkembangan dan respon regenerasi system saraf. Nerve growth factor (NGF) misalnya merupakan protein yang member dukungan besar terhadap kehidupan serabut saraf dan neuron simpatis. Pada penderita DM, neurotrophic factor jumlahnya berkurang sehingga transport aksonal yang retrograd terganggu.

Pada pasien DM dengan neuropati, terdapat 3 sistem saraf yang bisanya mengalami gangguan,yaitu system saraf sensorik, motorik, dan otonom.
-       Sistem saraf Sensorik
Sistem saraf sensorik dimulai dengan badan sel di ganglion radiks dorsalis yang mengirim serabut saraf afferent ke perifer menuju organ target bersama serabut saraf motorik dan otonom, dan juga mengirim serabut ke sentral melalui radiks dorsalis yang berakhir di kornu dorsalis medulla spinallis. Serabut saraf sensorik terdiri atas : A-alfa, A-beta, A-delta, dan C dengan sifat dan fungsi yang berbeda-beda.
Nilai ambang proteksi dari kaki ditentukan oleh normal tidaknya fungsi saraf sensoris kaki. Keterlibatan saraf sensorik (neuropati sensorik) menimbulkan berbagai keluhan yang beraneka ragam, seperti rasa kebas-kebas, hiperestesia, rasa proprioseptik, vibrasi. Adakalanya didapati rasa nyeri yang tak tertahankan seperti rasa terbakar terutama di malam hari sehingga pasien tidak dapat tidur, “burning feet restless leg syndrome”.
Dengan adanya neuropati sensorik akan menyebabkan penderita DM kurang atau tidak merasakan berbagai trauma, keadaan ini mempermudah terjadinya lesi. Disamping itu neuropati sendiri menyebabkan perubahan pada tulang (osteolisis diabetic) sehingga timbul deformitas dan menimbulkan titik tekan baru yang dapat menyebabkan ulserasi ataupun gangren.
-       Sistem saraf Motorik
Neuron motorik berasal dari kornu anterior medulla spinalis, terletak di badan selnya. Serabut motorik keluar dari medulla spinalis melalui radiks ventralis dan menginervasi organ target melalui saraf perifer.
Gejala motorik dapat terjadi di bagian distal, proksimal, atau kelemahan pada satu tempat. Neuropati ini sering mengenai ujung jari kaki yang menyebabkan atrofi otot-otot telapak kaki selanjutnya terjadi deformitas tapak kaki sehingga memberikan kontribusi terhadap lesi pada kaki. Keterlibatan saraf motorik (neuropati motorik) dapat berupa kelemahan pada otot intrinsik kaki dan terjadi ketidakseimbangan fleksor dengan ekstensor yang menimbulkan “intrinsic minum foot” dan dapat terjadi claw toes, penonjolan kaput metatarsal, pergeseran bantalan kaki metatarsal ke depan.
Peninggian tekanan pada daerah ini dapat menimbulkan ulkus. Pada kasus yang berat, otot-otot proksimal dapat terkena terutama otot dorsofleksor sehingga menimbulkan drop foot. Perubahan otot-otot tersebut menyebabkan terjadinya deformitas pada kaki yang menyebabkan daerah tersebut lebih mendapat tekanan dari luar. Dijumpai juga reflex tendon menurun, parese, pergerakkan sendi-sendi terganggu.
-       Sistem saraf Otonom
Sistem saraf otonom terdiri dari simpatis dan parasimpatis. Di perifer, serabut preganglionik meninggalkan medulla spinalis bersinaps di ganglion dan serabut pot ganglion berjalan bersama dengan saraf motorik dan sensorik membentuk saraf perifer.
Keterlibatan saraf otonom (neuropati otonom) mengganggu persepsi, perubahan pola berkeringat dan regulasi temperature, kulit kering, bersisik, kakum mudah terjadi pecah-pecah, serta tidak peka terhadap perubahan dan akhirnya mudah terkena infeksi.

Gangguan Pembuluh Darah
Bentuk aterosklerosis pada penderita DM sama dengan pada non-DM, yang terjadi adalah gangguan keseimbangan gula darah mengakibatkan metabolisme lemak yang terganggu. Perubahan struktur yang terjadi dalam lapisan intima dan media menyebabkan penebalan yang menonjol kearah lumen yang berupa ateromatosis, yang kadang-kadang disertai endapan kapur. Aterosklerosis ini menyebabkan permukaan dalam arteri tidak rata dan licin, yang akhirnya mengundang trombosit dan mediator-mediator inflamasi yang menempel dan membuat lumen arteri semakin sempit, bahkan membentuk trombus dan menyumbat aliran darah. Apabila aliran kolateral tidak cukup untuk menyuplai oksigen dan nutrisi ke jaringan perifer maka akan terjadi iskhemik dan kemudian nekrosis. Apabila disebelah distal lesi mengalami luka maka akan terjadi penyembuhan yang terlambat dan akhirnya meluas. Hal ini seringkali disertai dengan saprofit dan membentuk gangren.
Kelainan Makrovaskuler
Berhubungan dengan aterosklerosis yang menyebabkan penyempitan arteri besar dan sedang di tungkai bawah dan kaki. Hipertrigliserimia, hiperkolesterolimia (LDL), dan penurunan kadar kolesterol HDL berperan dalam aterogenesis ini. Pada pasien diabetes predileksi terjadinya penyempitan adalah di arteri tibialis dan arteri peronialis antara lutut dan pergelangan kaki. Penurunan suplai oksigen dan nutrisi menyebabkan kaki iskhemik sehingga regenerasi terhambat, kurang kemampuan untuk mempertahankan integritas normal jaringan, lemahnya melawan infeksi.
Kelainan Mikrovaskular
Terdapat abnormalitas pembuluh darah arteriola, kapiler dan venula.
  1. Terjadi perubahan struktur berupa penebalan membran basal endotel sehingga menurunkan transfer nutrisi melalui dinding sel dan mengurangi kemampuan pembuluh darah untuk berdilatasi sebagai bagian dari proses inflamasi normal. Penebalan ini merupakan konsekuensi dari gangguan toleransi glukosa kronis, glikosilasi nonenzimatik kolagen dan proteoglikan, serta kerentanan genetik.
  2. Terjadi  trombosis kapiler karena pembuluh darah menjadi kaku dan eritrosit sulit untuk lewat karena penebalan membran basal. Akhirnya akan terjadi penutupan pembuluh kapiler sehingga jaringan menjadi iskhemik.
  3. Terjadi perubahan fungsional pada pasien DM yaitu perubahan dalam aliran darah, timbul arterio-venous shunting akibat denervasi saraf simpatis pada arteriola dan venula

Infeksi
Mudahnya terjadi infeksi pada penderita KD diakibatkan oleh adanya iskemia, mikrotrombus, sebelumnya hingga akhirnya terbentuk abses, gangren, sepsis, dan osteomielitis. Setiap penderita DM memiliki respon terhadap infeksi yang berbeda-beda. Tanda-tanda infeksi yang umum dapat berupa demam, edema, eritema, pernanahan, atau berbau dan leukositosis. Penderita DM dengan infeksi kaki sekalipun berat tidak selalu diikuti dengan peningkatan temperature tubuh dan jumlah leukosit. Di samping itu sering sekali luasnya infeksi melebihi yang tampak secara klinis.

Staphylococcus aureus dan streptokokus β-hemolyticus adalah mikroorganisme yang pertama menginfeksi ketika terjadi kerusakan kulit. Ketika luka terjadi dalam proses lama, maka mikroorganisme yang terlibat semakin komplek, pada keadaan ini kuman aerob gram negatif dan anaerob akan berkembang. Bakteri gram negatif, terutama enterobakteriase banyak ditemukan pada pasien dengan infeksi kronik.

2.4 Penilaian Kaki Diabetik
Dalam menilai kaki diabetik, anamnesis adanya riwayat ulkus dan amputasi sebelumnya diperlukan. Anamnesis juga harus menanyakan adanya gejala neuropati atau gejala yang mengarah kepada penyakit vaskular perifer. Pertanyaan mengenai komplikasi lain dari DM juga harus ditanyakan, seperti gangguan penglihatan.
Pada pemeriksaan inspeksi kaki, pemeriksa harus melihat adanya tanda-tanda infeksi atau adanya ulkus pada kaki. Adanya callus atau kelainan kuku harus menjadi catatan bagi pemeriksa. Adanya perbedaan suhu merupakan salah satu tanda adanya penyakit vaskular. Pemeriksa juga harus menilai adanya deformitas pada kaki (claw toe, hammer, charcot foot).
Ketika melakukan pemeriksaan kelainan vaskular pada kaki, harus dilakukan palpasi pada arteri dorsalis pedis dan arteri tibialis posterior untuk menilai adanya pulsasi atau tidak. Adanya klaudikasi, hilangnya rambut, kulit pucat dan kering menandakan adanya iskemia. Pada pemeriksaan vaskular, pengukuran ankle brachial index (ABI)  juga dianjurkan untuk melihat adanya sumbatan pada arteri perifer. Pengukuran ABI dilakukan dengan cara mengukur tekanan sistolik pada kaki (arteri dorsalis pedis atau arteri tibialis posterior) dibandingkan dengan tekanan sistolik pada arteri brachialis. Jika terdapat kecurigaan yang tinggi terhadap adanya penyakit vaskular, pasien harus dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan vascular imaging untuk melihat adanya kemungkinan terjadinya iskemia.

2.5 Klasifikasi Ulkus Kaki Diabetik
Jika ditemukan adanya ulkus, maka deskripsi karakteristik ulkus harus mencakup ukuran, kedalaman, tampilan ulkus, dan lokasi. Banyak klasifikasi yang digunakan untuk mendeskripsikan ulkus kaki diabetik. Klasifikasi yang biasa digunakan yaitu wagner ulcer classification system, klasifikasi ini dibuat berdasarkan kedalam ulkus dan luasnya jaringan nekrosis. Kelemahan dari sistem klasifikasi ini adalah, sistem ini hanya mengklasifikasi ulkus berdasarkar kedalam dan tampilan ulkus tanpa melihat adanya tanda-tanda iskemia atau infeksi.
Klasifikasi lain yang biasa digunakan adalah klasifikasi The unversity of Texas system. Pada klasifikasi ini dijelaskan mengenai kedalam ulkus serta menjelaskan adanya iskemi dan infeksi.6

Klasifikasi kaki diabetes yang dianjurkan oleh International Consensus on the Diabetic Foot 2003 (klasifikasi PEDIS) adalah:7





Tatalaksana Kaki Diabetik

 Pasien dengan infeksi berat (grade 4), luka dalam, dicurigai adanya keterlibatan tulang dan sendi, serta menunjukkan tanda iskemia berat (gangren) harus dirawat inap. Karena pada keadaan ini dibutuhkan banyak tindakan seperti pembedahan ( debridemen, drainase, reseksi tulang atau revaskularisasi), terapi cairan, dan pemantauan gula darah yang ketat (biasanya menggunakan terapi insulin).

Terapi Empiris Antibiotik
Drainase infeksi secara invasif menjadi lini pertama dalam penatalaksanaan semua ulkus, terutama jika terdapat abses yang disertai dengan keadaan sindrom kompartemen, nekrosis luas, atau selulitis nekrosis. Hasil dari randomized clinical trials menunjukkan bahwa antibiotik sistemik mempunyai makna klinis pada pasien dengan kaki diabetik. Terapi empiris yang diberikan pada pasien dengan kaki diabetik infeksi harus mampu mencakup patogen yang paling umum menyerang dan hal ini harus berdasarkan epidemiologi patogen dari infeksi kaki diabetik.
Beratnya infeksi menentukan regimen antibiotik yang diberikan. Pasien dengan infeksi ringan yang sebelumnya belum pernah mendapatkan terapi antibiotik biasanya disebabkan oleh infeksi dari satu atau dua jenis spesies bakteri, sehingga regimen antibiotik yang diberikan harus bisa melawan patogen staphylococcus aureus dan streptococcus spp. Pada kasus infeksi kaki diabetik yang telah lama dan berat membutuhkan antibiotik yang mampu melingkupi bakteri basilus gram negatif, enterococcus spp dan kuman anaerob.

Revaskularisasi
Pada kasus critical ischemia, setelah infeksi dapat terkontrol, tindakan revaskularisasi dapat dipertimbangkan. Idealnya tindakan revaskularisasi dilakukan bersamaan dengan tindakan debridemen. Namun, pada beberapa kasus, revaskularisasi dapat dilakukan belakangan, terutama pada kasus delayed healing.
Revaskularisasi pada pasien DM bisa dilakukan secara conventional open surgery atau intervensi endovaskular. Teknik open surgical seperti endarterektomi dilakukan untuk lesi lokal dan bypass perifer pada oklusi yang panjang. Intervensi endovaskular antara lain angioplasti, dengan atau tanpa stenting, dan aterektomi. Intervensi ini memiliki keuntungan yang lebih jika dibandingkan operasi bypass, yaitu dalam hal morbiditas dan mortalitas.

Drainase dan debridemen
Drainase dan debridemen adalah dua prosedur bedah yang berbeda namun saling melengkapi. Drainase adalah tindakan melakukan sayatan seluas jaringan phelgmon atau abses. Prosedur pembedahan ini sangat penting khususnya pada infeksi dalam di daerah permukaan plantar kaki, dimana infeksi menyebar melalui selubung tendon dari otot-otot flexor yang terletak di kompartemen antara fasia superfisialis dan arkus kaki. Sehingga jika terjadi iskemia atau jaringan nekrosis pada daerah ini, perlu dilakukan drainase dengan membuka fasia plantaris.
Tindakan debridement melibatkan eksisi jaringan nekrosis dan debris sampai jaringan normal muncul, sehingga memungkinkan terjadinya penyembuhan luka dan menghilangkan sumber patogen. Prinsip dari debridement ini adalah membuang jaringan yang mati, sambil menjaga jaringan yang masih layak sebanyak mungkin. Adanya clotted vessels, stringy fascia dan tendon menandakan bahwa jaringan sudah tidak layak dan harus dibuang. Tulang yang lunak berwarna abu-abu menandakan nekrosis dan harus direseksi untuk membersihkannya. Bau adalah indikator yang paling bagus dalam menilai keberhasilan debridement, jika luka post debridement tidak berbau, maka bisa menjadi tanda bahwa debridement berjalan dengan baik.

Negative Pressure Wound Therapy (NPWT)
NPWT adalah terapi adjuvant noninvasif yang menggunakan kontrol tekanan negatif menggunakan Vacum assisted closure device (VAC) untuk membantu penyembuhan luka dengan menghilangkan cairan yang dihasilkan dari luka terbuka melalui sealed dressing dan tube yang disambungkan dengan kontainer penampung.8 NPWT memberikan tekanan subatmosfer secara intermiten atau terus-terusan dengan tekanan sebesar 50-175 mmHg.9
NPWT paling bagus dilakukan pada ulkus pada stage III dan IV dengan inadekuat atau jaringan granulasi yang buruk serta banyak terdapat eksudat. Secara umum, NPWT bisa digunakan pada luka kronik yang ukurannya berkurang tidal lebih dari 30% setelah empat minggu dilakukannya debridement, atau pada luka dengan cairan eksudat yang banyak, yanh tidak bisa ditatalaksana secara efektif hanya dengan mengganti perban.8.9
Pencegahan
Pencegahan terjadinya ulkus KD adalah dengan melakukan pengontrolan kadar gula darah ketingkat kadar gula darah yang normal dirumah. Termasuk keterampilan mengatur diet penggunaan obat-obatan.
-       Perawatan ke ahli Podiatri
·       Kunjungan regular, pemeriksaan dan perawatan kaki secara dini
·       Penilaian faktor resiko
·        Deteksi dini dan terapi yang agresif pada lesi yang baru
-        Pemeriksaan denyut nadi
· Evaluasi denyut nadi
· Menilai pulsasi kaki, tes vaskular noninvasive jika ada indikasi
-       Sepatu proteksi
· Memiliki ruangan yang adekuat, berperan sebagai protektif terhadap cidera, sepatu karet, sepatu yang dalam dan lebar.
· Modifikasi khusus jika perlu
-       Mengurangi tekanan
· Sepatu tempahan
· Memiliki bantalan yang lembut
-       Pembedahan profilaksis
· Memperbaiki deformitas : Hammer toe, Charcots foot
· Mencegah ulkus berulang
-       Edukasi
· Hindari rokok, berjalan menggunakan alas kaki, mencuci kaki dengan air hangat.
· Perawatan kuku
· Pemeriksaan tapak kaki regular setiap hari, antara jari kaki
· Kaki dibersihkan setiap hari, mempergunakan sabun yang lembut dan mempergunakan
Pelembab.

DAFTAR PUSTAKA

1.        Synder RJ, et al. Consensus recommendations on advancing the standard of care for treating neuropathic foot ulcers ini patients with diabetes. 2010
2.        American Diabetes Association. Consensus development conference diabetic foot wound care. Diabetes care. 1999; 22(8). 1354-9.
3.        Apelqvist J, bakker K, Hotum W, Schaper N. Practical guidelines on the management and prevention of the diabetic foot. Diabetes Metab Res Rev. 2008; 24(1). 181–7.
4.        Frykberg R, et al. Diabetic foot disorders: Clinical practice guideline (2006 revision). The journal of foot & ankle surgery. 2006; 45(6).
5.        Mendes JJ, Neves J. Diabetic foot infections: Current diagnosis and treatment. The Journal of Diabetic Foot Complications. 2012; 4(2). 26-45
6.        ClaytonW, Elasy TA. Review of the pathophysiology, classification, and treatment of foot ulcers in diabetic patients. Clinical Diabetes. 2009; 27(2). 52-7
7.        Lipsky BA,et al. Diagnosis and treatment of diabetic foot infections. CID; 2004; 39. 886-903.
8.        Nain SP, Uppal S, Garg R, Bajaj K, garg S. Role of negative pressure wound therapy in healing of diabetic foot ulcers. Journal of surgical technique and case report. 2011; 3(1). 17-9
9.        Kirby M. Negative pressure wound therapy. The british journal of diabetes and vascular disease. 2007; 7(5). 230-3.











Trauma Kimia Mata


Trauma kimia pada mata merupakan kedaruratan di bidang penyakit mata, terutama yang melibatkan kornea.3 Trauma kimia pada mata memerlukan perawatan segera, sebelum dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap.4 Trauma kimia dapat disebabkan oleh bahan alkali kuat maupun bahan asam kuat.
Pengaruh bahan kimia tersebut sangat tergantung pada pH, kecepatan dan jumlah bahan kimia.1 Oleh karena itu trauma karena asam dan basa kuat  lebih berbahaya. Trauma karena bahan alkali dua kali lebih sering dibandingkan karena bahan asam, karena alkali lebih banyak digunakan dalam industri dan rumah tangga. 4 Trauma yang disebabkan oleh bahan alkali lebih cepat merusak dan menembus kornea dibandingkan bahan asam. Trauma asam kuat dapat menyebabkan pengendapan dan penggumpalan protein, sementara trauma basa dapat menyebabkan penghancuran jaringan kolagen kornea. 1 Pada trauma kimia basa dapat menembus ke dalam bilik mata depan dalam waktu 7 detik, karena sifat bahan basa yaitu koagulasi sel dan proses penyabunan yang  disertai dengan dehidrasi. 1
            Penatalaksanaan yang diberikan terutama melakukan irigasi secepatnya dengan bahan fisiologis atau air bersih. Irigasi sebaiknya dilakukan sesegera mungkin dan cukup lama, paling sedikit 15-30 menit.1 Selain itu perlu juga ditentukan jenis bahan kimia yang mengenai mata, hal ini bisa didapatkan dari anamnesis serta pemeriksaan dengan kertas lakmus untuk menentukan sifat bahan, apakah sifat asam kuat atau basa kuat. Hal ini penting dilakukan karena dalam tatalaksana diperlukan langkah untuk menetralisasi bahan. Trauma kimia yang parah memerlukan perawatan yang lama dan intensif di rumah sakit  serta kunjungan rawat jalan yang juga berlangsung lama. Pemulihan dan rehabilitasi membutuhkan  waktu berbulan-bulan. Sebagai akibat dari kehilangan penglihatan sesisi atau kedua-duanya  maka pasien bisa kehilangan kemampuan mengemudi, kehilangan pekerjaan dan menjadi tergantung dengan orang lain. 2,3

Trauma Asam
Asam terdisosiasi menjadi ion-ion  Hidrogen dan anion di kornea. Molekul hidrogen merusak permukaan bola mata dengan merubah pH, sedangkan anion menyebabkan denaturasi, presipitasi dan koagulasi protein pada epitel – epitel kornea yang terpajan.2,3 Presipitasi dan koagulasi permukaan bola  mata disebut nekrosis koagulatif.5 Koagulasi protein mencegah terjadinya penetrasi asam lebih dalam,2,3 sehingga bila konsentrasi tidak tinggi tidak akan bersifat destruktif seperti trauma alkali. Umumnya kerusakan yang terjadi bersifat nonprogresif dan hanya pada bagian superfisial saja.2  
Asam hidrofluorat adalah pengecualian dalam kasus trauma akibat asam. Asam hidrofluorat adalah asam lemah yang dapat melewati membran sel dengan cepat, dalam keadaan tetap tidak terionisasi,3 sementara ion fluoride berpenetrasi lebih baik ke stroma  dibanding asam lainnya sehingga menyebabkan kerusakan yang lebih parah di segmen anterior.2  Karena itu  asam hidrofluorat bekerja seperti basa, menyebabkan nekrosis liquefactive. Ion fluoride yang dilepaskan ke dalam sel dapat menginhibisi enzim glikolitik dan dapat bergabung dengan kalsium dan magnesium, membentuk kompleks tidak larut. Nyeri lokal yang hebat diduga sebagai akibat dari kegagalan imobilisasi kalsium, yang kemudian mendorong stimulasi syaraf oleh perpindahan potassium.3
Komplikasi paling serius dari trauma asam adalah jaringan parut konjungtiva dan kornea, vaskularisasi kornea, glaukoma dan uveitis.6 Biasanya trauma akibat asam akan normal kembali, sehingga tajam penglihatan tidak banyak terganggu. 1

Trauma Basa
Basa terdisosiasi menjadi ion hidroksil dan kation di permukaan bola mata. Ion hidroksil membuat reaksi saponifikasi pada membran sel asam lemak, sedangkan kation berinteraksi dengan kolagen stroma dan glikosaminoglikan. Jaringan yang rusak ini menstimulasi respon inflamasi, yang merangsang pelepasan enzim proteolitik, sehingga memperberat kerusakan jaringan. Interaksi ini menyebabkan penetrasi lebih dalam  melalui kornea  dan segmen anterior. Hidrasi lanjut dari glikosaminoglikan menyebabkan kekeruhan kornea.2 Kolagenase yang terbentuk akan menambah kerusakan kolagen kornea.1 Berlanjutnya aktivitas kolagenase menyebabkan terjadinya perlunakan kornea.6
Hidrasi kolagen menyebabkan distorsi dan pemendekan fibril sehingga terjadi perubahan pada jalinan trabekulum yang selanjutnya dapat menyebabkan peningkatan tekanan intraokular. Mediator inflamasi yang dikeluarkan pada proses ini merangsang pelepasan prostaglandin  yang juga dapat menyebabkan peningkatan tekanan intraokular. 2,6   Basa yang menembus dalam bola mata akan dapat merusak retina sehingga akan berakhir dengan kebutaan penderita.1
 Trauma akibat bahan kimia basa akan memberikan akibat yang sangat gawat pada mata. Basa akan menembus dengan cepat ke kornea, bilik mata depan dan sampai pada jaringan retina. Proses yang terjadi disebut nekrosis liquefactive. Bahan akustik soda dapat menembus ke dalam bilik mata depan dalam waktu 7 detik. .1,5
Penyulit yang dapat ditimbulkan oleh trauma basa adalah simblefaron, kekeruhan kornea, edema dan neovaskularisasi kornea, katarak, disertai dengan terjadi ftisis bola mata 1 Penyulit jangka panjang dari luka bakar kimia adalah glaukoma sudut tertutup, pembentukan jaringan parut kornea, simblefaron, entropion, dan keratitis sika. 6
Patogenesis
            Bahan asam dan basa menyebabkan trauma dengan mekanisme yang berbeda. Baik bahan asam (pH<4 alkali="alkali" dan="dan" ph="ph">10) dapat menyebabkan terjadinya trauma kimia. Kerusakan jaringan akibat trauma kimia ini secara primer akibat proses denaturasi dan koagulasi protein selular, dan secara sekunder melalui kerusakan iskemia vaskular. Bahan asam menyebabkan terjadinya nekrosis koagulasi dengan denaturasi protein pada jaringan yang berkontak. Hal ini disebabkan karena bahan asam cenderung berikatan dengan protein jaringan dan menyebabkan koagulasi pada epitel permukaaan. Timbulnya lapisan koagulasi ini nerupakan barier terjadinya penetrasi lebih dalam dari bahan asam sehingga membatasi kerusakan lebih lanjut.  Oleh karena itu trauma asam sering terbatas pada jaringan superfisial. 7
Terdapat pengecualian yaitu asam hidrofluorik yang dapat menyebabkan nekrosis likuefaksi yang mirip pada alkali. Bahan asam hidrofluorik ini dapat dengan cepat menembus kulit sampai ke pembuluh darah sehingga terjadi diseminasi ion fluoride. Ion fluoride ini kemudian mempresipitasi kalsium sehingga menyebabkan hipokalsemi dan metastasis kalsifikasi yang dapat mengancam jiwa. 7
            Bahan alkali dapat menyebabkan nekrosis likuefaksi yang potensial lebih berbahaya dibandingkan bahan asam. Larutan alkali mencairkan jaringan dengan jalan mendenaturasi protein dan saponifikasi jaringan lemak. Larutan alkali ini dapat terus mempenetrasi lapisan kornea bahkan lama setelah trauma terjadi. 7
            Kerusakan jangka panjang pada konjungtiva dan kornea meliputi defek pada epitel kornea, simblefaron serta pembentukan jaringan sikatriks. Penetrasi yang dalam dapat menyebabkan pemecahan dan presipitasi glikosaminoglikan dan opasitas lapisan stroma kornea. Jika terjadi penetrasi pada bilik mata depan, dapat terjadi kerusakan iris dan lensa. Kerusakan epitel silier dapat menggangu sekresi asam askorbat yang diperlukan untuk produksi kolagen dan repair kornea. Selain itu dapat terjadi hipotoni dan ptisis bulbi. 4
            Proses penyembuhan dapat terjadi pada epitel kornea dan stroma melalui proses migrasi sel epitel dari stem cells pada daerah limbus. Kolagen stroma yang rusak akan difagositosis dan dibentuk kembali. 4

Klasifikasi derajat berat trauma kimia
Gradasi dan prognosis trauma kimia ditentukan berdasarkan kerusakan kornea dan iskemia limbus. Iskemia limbus merupakan faktor klinis yang sangat penting karena menunjukkan level kerusakan pada pembuluh darah di limbus dan mengindikasikan kemampuan stem sel kornea (yang terdapat di limbus) untuk regenerasi kornea yang rusak. Oleh karena itu, pada trauma kimia mata putih lebih berbahaya dibanding mata merah.
Ada 2 jenis klasifikasi derajat trauma kimia yang sering digunakan pada praktek sehari-hari. 
Derajat beratnya trauma kimia (menurut Roper-Hall) dibagi atas : 4
Grade I     : kornea jernih, tidak terdapat iskemia limbus (prognosis sangat baik)
Grade II    : kornea hazy tetapi detail iris masih tampak, dengan iskemia
                   limbus < sepertiga (prognosis baik)
Grade III  :detail iris tidak terlihat, iskemia limbus antara sepertiga sampai
      setengah
Grade IV : kornea opak, dengan iskemia limbus lebih dari setengah (prognosis sangat buruk)
Gradasi klinis berdasarkan kerusakan stem sel limbus (menurut kriteria Hughes), yang digunakan di departemen mata RSCM yaitu :8
I.                   Iskemia limbus yang minimal atau tidak ada
II.                Iskemia kurang dari 2 kuadran limbus
III.             Iskemia lebih dari 3 kuadran limbus
IV.             Iskemia pada seluruh limbus, seluruh permukaan epitel konjungtiva dan bilik mata depan
Selain pembagian tersebut diatas, khusus untuk trauma basa dapat diklasifikasikan
menurut Thoft menjadi :
Derajat 1 : hiperemi konjungtiva disertai dengan keratitis pungtata
Derajat 2 : hiperemi konjungtiva disertai dengan hilangnya epitel kornea
Derajat 3 : hiperemi disertai dengan nekrosis konjungtiva dan lepasnya epitel kornea
Derajat 4 konjungtiva perilimal nekrosis sebanyak 50%1

Gejala klinis
Diagnosis trauma kimia pada mata lebih sering didasarkan pada anamnesis dibandingkan atas dasar tanda dan gejala. Pasien biasanya mengeluhkan nyeri dengan derajat yang bervariasi, fotofobia, penurunan penglihatan serta adanya halo di sekitar cahaya.7
Umumnya pasien datang dengan keluhan adanya riwayat terpajan cairan atau gas kimia pada mata. Keluhan pasien biasanya nyeri setelah terpajan, rasa mengganjal di mata, pandangan kabur, fotofobia, mata merah dan rasa terbakar. 2
Jenis bahan sebaiknya digali, misalnya dengan menunjukkan botol bahan kimia, hal ini dapat membantu menentukan jenis bahan kimia yang mengenai mata.
            Waktu dan durasi dari pajanan, gejala yang timbul segera setelah pajanan,  serta penatalaksanaan yang telah diberikan di tempat kejadian juga merupakan anamnesis yang dapat membantu dalam diagnosis.7

Pemeriksaan Fisik2
Pemeriksaan fisik yang cermat harus ditunda  setelah dilakukan irigasi yang banyak pada mata yang terkena dan pH mata telah netral. Setelah dilakukan irigasi, dilakukan pemeriksaan dengan seksama terutama melihat kejernihan dan integritas kornea, iskemia limbus dan tekanan intraokular. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan pemberian anestesi topikal.
Tanda-tanda yang dapat ditemui pada pemeriksaan fisik dan oftalmologi adalah :
  • Defek epitel kornea, dapat ringan berupa keratitis pungtata sampai kerusakan seluruh epitel. Kerusakan semua epitel kornea dapat tidak meng-up take  fluoresin secepat abrasi kornea sehingga dapat tidak teridentifikasi.
  • Kekeruhan kornea yang dapat bervariasi dari kornea jernih  sampai opasifikasi total sehingga menutupi gambaran bilik mata depan.
  • Perforasi kornea. Sangat jarang terjadi, biasa pada trauma berat yang penyembuhannya tidak baik.
  • Reaksi inflamasi bilik mata depan, dalam bentuk  flare dan cells. Temuan ini biasa terjadi pada trauma basa dan berhubungan dengan penetrasi yang lebih dalam.
  • Peningkatan  tekanan intraokular
  • Kerusakan / jaringan parut pada adneksa. Pada kelopak mata hal ini menyebabkan  kesulitan menutup mata sehingga meng-exspose permukaan bola yang telah terkena trauma.
  • Inflamasi konjungtiva.
  • Iskemia perilimbus
  • Penurunan tajam penglihatan . Terjadi karena  kerusakan epitel, kekeruhan kornea, banyaknya air mata.
Pada trauma derajat ringan sampai sedang biasanya yang dapat ditemukan berupa kemosis, edema pada kelopak mata, luka bakar derajat satu pada kulit sekitar, serta adanya sel dan flare pada bilik mata depan. Pada kornea dapat ditemukan keratitis punktata sampai erosi epitel kornea dengan kekeruhan pada stroma. Sedangkan pada derajat berat mata tidak merah, melainkan putih karena terjadinya iskemia pada pembuluh darah konjungtiva. Kemosis lebih jelas, dengan derajat luka bakar yang lebih berat pada kulit sekitar mata, serta opasitas pada kornea.7
Penyebab2
·         Alkali:Ammonia , Lye, Potassium hydroxide, Magnesium hydroxide,Lime
  • Produk yang mengandung alkali : Fertilizers, produk pembersih(ammonia), drain cleaners (lye), Oven cleaners, Potash (potassium hydroxide), Fireworks (magnesium hydroxide),Cement (lime)
  • Asam: Sulfuric acid, Sulfurous acid (paling sering), Hydrofluoric acid (paling fatal) , Acetic acid,Chromic acid,Hydrochloric acid
  • Produk yang mengandung asam : Baterai(sulfuric),Glass polish (hydrofluoric),Vinegar (acetic)
  • Produk yang mengandung iritan : Pepper spray

Pemeriksaan penunjang 2,3
Pemeriksaan pH permukaan bola mata secara periodik dan melanjutkan irigasi sampai PH netral . Selain itu, pemeriksaan seperti tes flourescein, tes tonometri Goldman, tes Schimmer, tes sitologi impresi juga perlu dilakukan. Pemeriksaan laboratorium diperlukan jika terdapat kelainan sistemik lain.

Tatalaksana
Trauma kimia merupakan trauma mata yang membutuhkan tatalaksana sesegera mungkin. Tujuan utama dari terapi adalah menekan inflamasi, nyeri, dan risiko inflamasi.3  Tatalaksana emergensi yang diberikan yaitu: 7
1.      Irigasi mata, sebaiknya menggunakan larutan Salin atau Ringer laktat selama minimal 30 menit. Jika hanya tersedia air non steril, maka air tersebut dapat digunakan. Larutan asam tidak boleh digunakan untuk menetralisasi trauma basa. Spekulum kelopak mata dan anestetik topikal dapat digunakan sebelum dilakukan irigasi. Tarik kelopak mata bawah dan eversi kelopak mata atas untuk dapat mengirigasi fornices.
2.      Lima sampai sepuluh menit setelah irigasi dihentikan, ukurlah pH dengan menggunakan kertas lakmus. Irigasi diteruskan hingga mencapai pH netral (pH=7.0)
3.      Jika pH masih tetap tinggi, konjungtiva fornices diswab dengan menggunakan moistened cotton-tipped applicator atau glass rod. Penggunaan Desmarres eyelid retractor dapat membantu dalam pembersihan partikel dari fornix dalam.
  
Selanjutnya, tatalaksana untuk trauma kimia derajat ringan hingga sedang meliputi: 7
  1. Fornices diswab dengan menggunakan moistened cotton-tipped applicator atau glass rod untuk membersihkan partikel, konjungtiva dan kornea yang nekrosis yang mungkin masih mengandung bahan kimia. Partikel kalsium hidroksida lebih mudah dibersihkan dengan menambahkan EDTA.
  2. Siklopegik (Scopolamin 0,25%; Atropin 1%) dapat diberikan untuk mencegah spasme silier dan memiliki efek menstabilisasi permeabilitas pembuluh darah dan mengurangi inflamasi.
  3. Antibiotik topikal spektrum luas sebagai profilaksis untuk infeksi. (tobramisin, gentamisin, ciprofloxacin, norfloxacin, basitrasin, eritromisin)
  4. Analgesik oral, seperti acetaminofen dapat diberikan untuk mengatasi nyeri.
  5. Jika terjadi peningkatan tekanan intraokular > 30 mmHg dapat diberikan Acetazolamid (4x250 mg atau 2x500 mg ,oral), beta blocker (Timolol 0,5% atau Levobunolol 0,5%).
  6. Dapat diberikan air mata artifisial (jika tidak dilakukan pressure patch).

Tatalaksana untuk trauma kimia derajat berat setelah dilakukan irigasi, meliputi: 7
1.      Rujuk ke rumah sakit untuk dilakukan monitor secara intensif mengenai tekanan intraokular dan penyembuhan kornea.
2.      Debridement jaringan nekrotik yang mengandung bahan asing
3.      Siklopegik (Scopolamin 0,25%; Atropin 1%) diberikan 3-4 kali sehari.
4.      Antibiotik topikal (Trimetoprim/polymixin-Polytrim 4 kali sehari; eritromisin 2-4 kali sehari)
5.      Steroid topikal ( Prednisolon acetate 1%; dexametasone 0,1%  4-9 kali per hari). Steroid dapat mengurangi inflamasi dan infiltrasi netrofil yang menghambat reepitelisasi. Hanya boleh digunakan selama 7-10 hari pertama karena jika lebih lama dapat menghambat sintesis kolagen dan migrasi fibroblas sehingga proses penyembuhan terhambat, selain itu juga meningkatkan risiko untuk terjadinya lisis kornea (keratolisis). Dapat diganti dengan non-steroid anti inflammatory agent.
6.      Medikasi antiglaukoma jika terjadi peningkatan tekanan intraokular. Peningkatan TIO bisa terjadi sebagai komplikasi lanjut akibat blokade jaringan trabekulum oleh debris inflamasi.
7.      Diberikan pressure patch di setelah diberikan tetes atau salep mata.
8.      Dapat diberikan air mata artifisial.

Selain pengobatan tersebut diatas, pemberian obat-obatan lain juga bermanfaat dalam menurunkan proses inflamasi, meningkatkan regenerasi epitel dan mencegah ulserasi kornea. Obat tambahan yang biasa diberikan:4
  • Asam askorbat : berfungsi untuk meningkatkan produksi kolagen, diberikan secara topikal dan sistemik. Beberapa riset menunjukkan pemberian topikal asam askorbat 10% terbukti dapat menekan perforasi kornea. Akan tetapi, tatalaksana ini baru digunakan pada tahap eksperimental (asam askorbat topikal 10% , setiap 2 jam dan sistemik 4x 2 g per hari). 3
  • Asam sitrat : merupakan inhibitor kuat terhadap aktivitas neutrofil. Pemberian topikal 10% setiap 2 jam selama 10 hari.
  • Tetrasiklin : membantu menghambat proses kolagenase,  menghambat neutrofil dan mengurangi ulserasi. Biasanya pemberian secara topikal dan sistemik (doksisiklin 2 x 100 mg)4
  • Untuk tatalaksana trauma oleh asam hidrofluorat, medikasi yang optimum masih belum dilakukan. Beberapa studi menggunakan 1% calcium gluconate sebagai media irigasi atau untuk tetes mata. Bahan – bahan mengandung Magnesium juga digunakan pada kasus ini. Sayangnya, masih sedikit penelitian yang mendukung efektifitas terapi – terapi tersebut. Irigasi mengunakan magnesium klorida terbukti tidak bersifat toksik terhadap mata. Efek positif dari terapi ini dilaporkan masih dapat ditemukan walaupun pada pemberian 24 jam setelah cedera, dimana medikasi lainnya sudah tidak berguna. Beberapa penulis merekomendasikan penggunaan sebagai tetes mata setiap 2 – 3 jam atas pertimbangan irigasi dapat mengiritasi mata dan menimbulkan ulserasi kornea.3
  • Injeksi subkonjungtival kalsium glukonat dan kalsium klorida tidak direkomendasikan karena terbukti tidak bermanfaat dalam terapi.3
  • Terapi bedah dini penting untuk revaskularisasi limbus, restorasi populasi sel limbus dan membentuk fornises. Sedangkan terapi bedah lanjutan meliputi graft konjungtiva atau membran mukosa, koreksi deformitas kelopak mata, keratoplasti, serta keratoprostheses.4

Tatalaksana berdasarkan prosedur standar di bagian IP mata RSCM berdasarkan gradasi, dan lamanya trauma kimia tersebut.

Berdasarkan fase lamanya trauma kimia, dibagi menjadi :8
I. Fase kejadian (immediate)
Tujuan             : menghilangkan materi penyebab sebersih mungkin
Tindakan         :
·         Irigasi Bahan Kimia
o   Pembilasan dilakukan segera, bila mungkin berikan anastesi topikal terlebih dahulu. Pembilasan dengan larutan non-toxic (NaCl 0.9%, Ringer Lactat dsb), sampai pH air mata kembali normal (dinilai dengan kertas Lakmus).Pembilasan dilakukan segera, bila mungkin berikan anastesi terlebih dahulu. Pembilasan dengan larutan non-tosis (NaCl 0.9%, RL dsb), sampai pH air mata kembali normal (dinilai dengan kertas Lakmus). Pembilasan dilakukan selama mungkin dan paling sedikit 15-30 menit (60 mnt untuk trauma basa). Untuk bahan asam dipergunakan larutan natrium bikarbonat 3%, sedangkan untuk basa digunakan larutan asam borat, asam asetat 0,5% atau buffer asam asetat pH 4,5% untuk menetralisir. Pendapat lain menganjurkan untuk memakai cairan yang netral.
o   Benda Asing yang melekat dan jaringan bola mata yang nekrosis harus dibuang (pada anak-anak, jika perlu dalam narkose).
o   Bila diduga telah terjadi penetrasi bahan kimia kedalam bilik mata depan (BMD), dilakukan irigasi BMD dengan larutan RL.
·         Diagnosa berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, oftalmologis dan penentuan gradasi klinis.
·         Penderita dirawat bila sesuai indikasi

II. Phase Akut (sampai hari ke 7)
Tujuan : Mencegah terjadinya penyulit
Prinsip :
  • Mempercepat proses re-epitelisasi kornea
  • Mengontrol tingkat peradangan
    • Mencegah infiltrasi sel-sel radang
    • Mencegah pembentukan enzim kolagenase
  • Mencegah infeksi sekunder
  • Mencegah peningkatan tekanan bola mata
  • Suplement / anti oksidan
  • Tindakan pembedahan
Tdkn
Gradasi  I
Gradasi  II
Gradasi III
Gradasi IV
A
-
Bandage lens
Bandage lens
Autoserum tetes 6x
Bandage lens
Autoserum tetes jam
B
(AB+) steroid tetes 4-6x
EDTA 1% tetes 4-6x
Kortikosteroid tetes 6x
Na-EDTA 1% tetes 6x
Dexamethason/Prednison tetes/jam
Na-EDTA tetes/ jam
Autoserum tetes 6x
Dexamethason/Prednison tetes/30 menit
Na-EDTA tetes/ 30 menit
Autoserum tetes/jam
C
Antibiotik (+ steroid) 4-6x
Tetrasiklin salep 4x
Doksisiklin 2x100mg
Tetrasiklin salep 4x
Doksisiklin 2x100mg
Tetrasiklin salep 4x
Doksisiklin 2x100mg
D
-
Timolol 0,5% tetes 2x
Timolol  0,5% tetes 2x
Asetazolamid 2x500mg + substitusi ion Kalium
Timolol  0,5% tetes 2x
Asetazolamid 2x500mg + substitusi ion Kalium
E
SA 1% 3x
Vit.C4x500 mg
SA 1% 3x
Vit.C 4x500 mg
SA 1% 3x
Vit.C 4x500 mg
SA 1% 3x
Vit.C 4x500 mg
F


Nekrotomi + graf konjungtiva-limbus
Nekrotomi + graf konjungtiva-limbus



III. Phase Pemulihan Dini (early repair : hari ke 7 – 21)
Tujuan : Membatasi tingkat penyulit
Problem:
  • Hambatan re-epitelisasi kornea
  • Gangguan fungsi kelopak mata
  • Hilangnya sel Goblet
  • Ulserasi stroma ®perforasi kornea
Prinsip : sesuai dengan Phase II
Tdkn
Gradasi  I
Gradasi  II
Gradasi III
Gradasi IV
A
Re-epitelisasi sempurna (+)
Rerepitelisasi (+)
Bandage lens terus
Bandage lens
Autoserum tetes 6x
Bandage lens
Autoserum tetes jam
B
(AB+) steroid tetes tapp off

Kortikosteroid tetes tapp off
Na-EDTA 1% tetes tapp off
Dexamethason/Prednison tetes tapp off/ ganti dengan :
NSAID (Indomethasin/Diklofenac)tetes 6x/jam
Na-EDTA tetes/ jam
Autoserum tetes 6x
Dexamethason/Prednison ganti :
NSAID tetes/ jam
Na-EDTA tetes/ 30 menit
Autoserum tetes/jam
C
Antibiotik (+ steroid) tapp
Tetrasiklin salep 4x
Doksisiklin 2x100mg
Tetrasiklin salep 4x
Doksisiklin 2x100mg
Tetrasiklin salep 4x
Doksisiklin 2x100mg
D
-
Peningkatan TIO (-)
Timolol stop
Peningkatan TIO (-):
Timolol,Asetazolamid substitusi ion Kalium stop
Timolol  0,5% tetes 2x
Asetazolamid  + subst ion Kalium terus
E
Uveitis : SA stop
Uveitis : SA stop
Vit.C 4x500 mg
SA 1% 3x
Vit.C 4x2000 mg
Retinoic acid salep 2x
SA 1% 3x
Vit.C 4x2000 mg
Vit A dan E
F


Jaringan nekrotik : eksisi
Ulserasi stroma : graf
Jaringan nekrotik : eksisi
Ulserasi stroma : graf
IV. Phase Pemulihan Akhir (late repair : setelah hari ke 21)
Tujuan             : Rehabilitasi fungsi penglihatan
Masalah           :
  • Disfungsi sel Goblet
  • Hambatan re-epitelisasi Kornea
  • Ulserasi stroma (gradasi III dan IV)
Prinsip :
  • Mempercepat proses re-epitelisasi kornea, atau optimalisasi fungsi epitel permukaan
  • Dan seterusnya sesuai dengan phase II
Tdkn
Gradasi  I
Gradasi  II
Gradasi III
Gradasi IV
A
Solcosery 3x
Epiteliopati (±): Solcosery 4x
Epiteliopati (±): Solcosery 4x
Retinoic acid 1% 1x malam
Reepitelisasi (±) :
Bandage lens diteruskan
B
-
NSAID tetes 4x
NSAID tetes 4x
Medrox-progestron 1% 4x
NSAID 4-6x
Medroxy-progesteron 4-6x
Na-EDTA 4-6x
Autoserum 4-6x
C
-
-
-
Tetrasiklin salep 4x
Doksisiklin 2x100mg
D
-
-
-
Peningkatan TIO (-) :
Timolol  0,5% tapp off
Asetazolamid  + substitusi ion Kalium stop
E
-
-
-
Uveitis (-) : SA stop
Vit.C 4x2000 mg, vit A dan E
F
-
-
-

Jaringan nekrotik : eksisi
Ulserasi stroma : graf
Rujukan
Setelah terapi inisial dan irigasi, pasien  harus dirujuk ke fasilitas dimana terdapat dokter mata.

Pencegahan
Edukasi dan pelatihan untuk mencegah pajanan zat kimia di tempat kerja  dapat mencegah terjadinya trauma kimia pada mata. Pekerja  yang dapat  terpajan zat kimia di tempat kerja harus menggunakan safety goggles.2
Trauma kimia pada anak sering terjadi karena tidak adanya pengawasan. Letakkan  semua produk rumah tangga yang dapat menimbulkan bahaya di tempat yang tidak dapat dijangkau oleh anak-anak.3


DAFTAR PUSTAKA

  1. Ilyas S. Trauma mata. Dalam: Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. 2010.h.271-3
  2. Randleman JB. Ophthalmologic Approach to Chemical eye burns. Emedicine [online] 2007 October [cited 2012 April 6].Available from:http://www.emedicinehealth.com/chemical_eye_burns/articleem.htm
  3. Weaver C. Occular burns. Emedicine [online] 2011 October [ cited 2012 April 6 ]. Available from URL: http://emedicine.medscape.com/article/798696-overview
  4. Kanski Jack J, editor. Clinical ophtalmology a sistemic approach. 7th  ed. Elsevier; 2011.
  5. Broocker G, Mendicino ME, Stone CM. Injury to the eye. In: Mattox KL, Fellicino DV,  Moore EE, editors. Trauma. 4th ed. New York: Mc-Graw Hill; 2000.p.406-7.
  6. Asbury T, Sanitato JJ. Trauma. In : Vaughan DG, Asbury T, Eva PR, editors. General Ophtalmology. 17th . Lange; 2007.
  7. Rhee DJ, Pyfer MF, editors. The Wills Eye Manual: office and emergency room diagnosis and treatment of eye disease. 3rdedition. Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins;1999.p.19-22.
  8. Prosedur standar diagnostik dan tatalaksana RSCM.